Sampai saat ini hanya seorang peramal yang bisa memprediksi masa depan namun apakah bisa sebuah mesin memprediksi masa depan juga ?
Sejumlah ilmuwan dari berbagai negara percaya kalau jawabannya adalah ya. Hasil dari keyakinan ini adalah sebuah mesin yang bernama Random Event Generator yang bahkan mampu melakukan sesuatu yang tidak diduga sebelumnya, yaitu meramalkan terjadinya sebuah peristiwa besar seperti serangan 11 September.
Awalnya, Random Event Generator atau REG dikembangkan bukan untuk meramal. Kemampuan itu ditemukan tanpa sengaja ketika para peneliti mencoba untuk melihat efek pikiran populasi dunia terhadap mesin tersebut.
Walaupun terdengar seperti sebuah pandangan mistik, ide untuk melakukan eksperimen ini datang langsung dari seorang peneliti Princeton University bernama Dr.Roger Nelson. Dr.Nelson sendiri adalah seorang ahli psikologi eksperimental di universitas ternama itu.
Pada pertengahan tahun 1990an, ia memulai eksperimen ini dengan hipotesis kalau proses berpikir setiap orang di planet ini akan membentuk sebuah “kesadaran global” yang dapat berinteraksi dengan sebuah perangkat keras sehingga bisa mempengaruhi output perangkat tersebut. Sebagian orang menyebut “kesadaran global” ini dengan julukan “pikiran Tuhan”.
Dr.Nelson mendapatkan inspirasinya dari penelitian Prof. Robert Jahn (Juga dari Princeton University) yang pada tahun 70an telah melakukan penelitian untuk mengetahui apakah pikiran manusia bisa mempengaruhi sebuah mesin.
Bedanya, Dr.Jahn melakukan eksperimen ini dalam skala mikro. Ia meminta beberapa sukarelawan untuk memproyeksikan pikiran mereka ke sebuah mesin yang secara terus menerus mengeluarkan output berupa angka nol dan satu. Hasilnya cukup mengejutkan. Output yang dihasilkan oleh mesin mengalami anomali sehingga Prof.Jahn menyimpulkan kalau pikiran manusia memang bisa mempengaruhi sebuah sistem fisik seperti mesin.
Google Resmi Umumkuan Nexus 4, Nexus 10, dan Nexus 7 3GDr.Nelson yang terinspirasi kemudian mencoba untuk menerapkan eksperimen ini dalam skala yang lebih besar. Lalu ia membuat sebuah mesin atau “kotak hitam” yang juga menghasilkan output berupa angka nol dan satu secara acak. Mesin ini dipasang di berbagai negara dan terhubung dengan sebuah server di Laboratoriumnya di Princeton.
Jika mesin itu tidak mendapatkan pengaruh dari luar, maka output yang dihasilkan tidak akan berubah, dengan kata lain tetap acak. Walaupun acak, hukum probabilitas akan menyebabkan mesin itu mengeluarkan angka nol dan satu yang hampir sama banyak sehingga grafik yang dihasilkan hanya berupa garis lurus.
Namun, ketika kesadaran global muncul, mungkin akibat terjadinya sebuah peristiwa besar, output yang dihasilkan tidak akan acak lagi. Misalnya, angka satu mungkin akan lebih sering muncul sehingga menghasilkan sebuah lonjakan tajam di dalam grafik (spike).
Jadi, Dr.Nelson hanya perlu memperhatikan lonjakan tersebut dan melihat korelasinya dengan peristiwa nyata yang sedang terjadi di dunia.
Perlu diingat kalau mesin ini tidak memiliki sensor untuk menangkap sinyal ataupun gelombang apapun dan benar-benar dibuat hanya untuk melihat apakah pikiran manusia yang abstrak mampu mempengaruhi sebuah benda fisik.
Awalnya, Dr.Nelson hanya memiliki 40 mesin REG di seluruh dunia yang terhubung dengan server di Princeton. Mesin-mesin ini terus menghasilkan jutaan output secara konstan, kebanyakan hanya terlihat seperti garis lurus.
Lalu, pada tanggal 6 September 1997, sesuatu terjadi!
Output mesin REG-nya menghasilkan sebuah spike. Kebetulan, pada hari itu, sekitar satu milyar penduduk dunia sedang menyaksikan secara langsung pemakaman putri Diana lewat televisi. Jadi, diasumsikan kalau sebuah perubahan dalam emosi global telah tercipta dan mempengaruhi output mesin REG.
Dr.Nelson takjub!
Apa yang disaksikannya mungkin telah meneguhkan hipotesisnya.
Melihat hasil yang luar biasa ini, ia memutuskan untuk meminta bantuan dari rekan-rekan penelitinya. Karena itu, pada tahun 1998, ia mengumpulkan sekitar 100 ilmuwan dari seluruh dunia dan memulai sebuah eksperimen yang disebutnya Global Conciousness Project (GCP, yang kadang juga disebut sebagai EGG Project).
Proyek ini mendapat dukungan penuh dari Institute of Noetic Sciences, sebuah organisasi yang pernah disinggung Dan Brown dalam Novelnya, The Lost Symbol.
Mengenai tujuan dari eksperimen ini, Roger Nelson menyatakan kalau eksperimen ini dapat memberikan “Sebuah pemahaman yang sangat penting mengenai perilaku manusia dalam skala yang lebih besar yang berpotensi untuk membantu kita membentuk masa depan yang lebih baik dan kredibel.”
Setelah Global Conciousness Project dibentuk, paling tidak terdapat 65 tempat di seluruh dunia yang menampung mesin REG yang hasilnya terus ditransmisikan ke Princeton.
Selama esperimen berlangsung, para peneliti terkagum-kagum ketika menemukan mesin REG tersebut berhasil “merasakan” peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di seluruh dunia.
Ketika malam tahun baru tiba, mesin itu akan menghasilkan spike, menunjukkan kalau ia merasakan sukacita yang terjadi di seluruh dunia.
Ketika pasukan NATO menyerang Yugoslavia dengan serangan bom, spike kembali muncul.
Begitu juga ketika kapal selam Kursk milik Rusia tenggelam, ketika terjadi sengketa hasil pemilu Amerika Serikat tahun 2000 dan ketika Barack Obama terpilih menjadi presiden.
Tentu saja, ketika Roger Nelson pertama kali meneliti fenomena ini, ia hanya berasumsi kalau output mesin itu akan berubah ketika sebuah kesadaran global terbentuk akibat peristiwa yang telah terjadi.
Namun, pada tanggal 11 September 2001, ia menemukan sebuah misteri yang cukup mengejutkan.
Mesin itu ternyata bisa “merasakan” sebuah peristiwa besar beberapa jam sebelum terjadi!
Dengan kata lain, mesin itu meramalkan terjadinya peristiwa tersebut.
Seperti yang kita ketahui bersama, pada tanggal 11 September 2001, menara kembar WTC dan Pentagon di Amerika Serikat diserang dan korban tewas diperkirakan mencapai 3.000 orang.
Empat jam sebelum serangan tersebut, mesin REG menunjukkan sebuah spike!
Bukan hanya itu, pada bulan Desember 2004, mesin itu kembali menjadi liar. Spike bermunculan di grafik yang dihasilkannya. 24 jam kemudian, sebuah gempa besar terjadi di samudera Hindia yang kemudian menyebabkan tsunami Asia yang membunuh seperempat juta orang.
Hasil ini mengejutkan karena mungkin mesin ini telah mengkonfirmasikan teori mengenai kemampuan precognitive (mengetahui apa yang akan terjadi) manusia! Sebagian peneliti memang percaya kalau pikiran bawah sadar manusia sebenarnya mampu “merasakan” peristiwa yang akan terjadi.
Dengan demikian, ada dua pertanyaan yang berusaha dijawab oleh eksperimen ini.
Pertama, Apakah pikiran (kolektif) manusia mampu mempengaruhi sebuah benda fisik (Mind over matter)?
Dan kedua, Apakah manusia benar-benar memiliki kemampuan untuk mengetahui peristiwa yang akan terjadi?
Tentu saja, kedua pertanyaan ini akan sangat sulit dijawab karena selama ini para ilmuwan lebih sering menolak untuk terlibat dalam dua hal tersebut.
Menurut Dr.Nelson:
“Hal ini benar-benar membuat kami terheran-heran. Kami sedang berada dalam proses untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi disini. Sekarang, kami seperti sedang menusuk di dalam kegelapan.”
“Jika melakukan kesalahan, kami sangat bersedia dikoreksi. Namun sampai saat ini kami belum menemukan satupun. Demikian juga dengan orang lain.”
Mengenai pertanyaan pertama, Mark Pilkington, seorang jurnalis untuk majalah Fortean Times berkata: “Otak manusia sebenarnya mirip dengan peralatan listrik. Jadi wajar saja kalau ia bisa mempengaruhi medan magnet atau peralatan listrik lainnya.”
Prof.Chris French, seorang psikolog di Goldsmith College di London juga setuju.
“Global Consciousness Project telah memberikan hasil yang menarik yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Saya sendiri sedang terlibat dalam eksperimen serupa dan saya ingin melihat apakah saya mendapatkan hasil yang sama.”
Pernyataan ini cukup menarik mengingat Prof.French adalah seorang skeptis.
Mengenai kemampuan REG untuk meramal, ia berkata; “Anehnya, tidak ada satupun hukum fisika yang menolak kemungkinan melihat masa depan.”
Tetapi, tidak semua peneliti sependapat. Ada yang menganggap kalau Dr.Nelson telah memilah-milah data dan hanya melihat data yang diinginkannya. Efek ini disebut Confirmation Bias dan memang biasa terjadi, terutama dalam kasus ramal-meramal.
Dalam kasus peristiwa 11 September, beberapa hari sebelum peristiwa tersebut terjadi, grafik di REG sebenarnya menunjukkan adanya fluktuasi serupa. Namun fluktuasi ini tidak disinggung oleh Dr.Nelson karena pada hari itu tidak terjadi sesuatu yang istimewa. Hal inilah yang dianggap sebagai bias bagi para skeptis yang menolak hasil eksperimen ini.
Lagipula, jika memang mesin itu bisa menangkap perubahan-perubahan dalam pikiran umat manusia, mengapa banyak peristiwa besar di dunia tidak bisa “dirasakan” oleh mesin tersebut?
Roger Nelson juga mengakui kurangnya bukti untuk mendukung hipotesisnya.
“Saya ingin menegaskan kembali kalau saya suka dengan ide mengenai kesadaran global. Namun ide ini memang masih sebatas spekulasi. Saya tidak ingin mengklaim kalau statistik dan grafik yang dihasilkan adalah bukti adanya kesadaran global. Namun, di pihak lain, kami memiliki bukti kuat kalau terjadi anomali pada data yang seharusnya acak. Anomali ini memiliki korelasi dengan ekspektasi orang-orang mengenai sebuah peristiwa yang penting baginya.”
Bagaimanapun juga Dr.Nelson tetap optimis, namun tidak untuk jangka pendek.
“Mungkin kami bisa memprediksikan sebuah peristiwa besar yang akan terjadi. Namun kami tidak bisa mengetahui dengan pasti apa dan dimana peristiwa itu akan terjadi.”
“Dengan kata lain – kami belum memiliki mesin yang bisa kami jual ke CIA.”
Dr.Nelson kemudian memberikan sedikit filosofi mengenai eksperimen ini.
“Kita selalu diajarkan untuk menjadi monster yang individualistik. Kita didorong oleh lingkungan kita untuk memisahkan diri dari yang lainnya. Hal itu tidak baik.”
“Ada kemungkinan kalau kita sebagai manusia sebenarnya terhubung dengan yang lainnya lebih erat daripada yang kita sadari.”
Benar sekali.
Namun, untuk membuktikan keberadaan “kesadaran global” yang bisa mempengaruhi sebuah mesin atau meramal peristiwa masa depan, mungkin kita masih butuh waktu dan penelitian yang lebih panjang. Dan untuk itu kita bersyukur untuk peneliti seperti Dr.Roger Nelson.