Blogroll

Senin, 15 November 2010

dear luva

Dear Luva
“Hey, apa yamg kau lakukan disini?”
“Aku sedang menjalankan perintah tuanku. Kau?”
“Kita senasib!”
“Lantas, apa perintah dari tuanmu?”
“Akh, nanti kuceritakan”
“Nanti? Aku mau sekarang”
“Hey, jangan gila. Kita baru saja kenal dua menit yang lalu. Aku tak percaya kepadamu”
“Ayolah. Percayalah!”
“Tidak!”
“Kepada siapa lagi kau bercerita selain kepadaku”
“Maksudmu?”
“Lihat disekelilingmu!”
“Gelap?”
“Ya, gelap”
“Sunyi?”
“Ya, sunyi”
“Artinya?”
“Ha… ha… “ _dia tertawa dengan lepasnya.
“Diam! Aku tak perlu hinaanmu”. Dia mulai geram.
“Hinaan? Hey sadar. Siapa yang mau mempermalukanmu di tempat sunyi seperti ini?”
“Tapi kau mengejekku tadi”
“Tadi? Kapan?”
“Sudahlah aku capek”
“Capek? Apa yang kau perbuat?”
“Aku capek dengan kemunafikan umat manusia”
“Nah, nah, ayo lanjutkan ceritamu!”
“Sudah hampir cukup untukku memberikan informasi kepadamu”
“Tapi itu masih kurang. Sedikit lagi!”
“Aku sedih, sakit, senang, bahagia, menderita, benci, suka, saying, cinta, bosan, penat, gelisah”
“Hmm… sebenarnya apa yang telah terjadi kepadamu? Sepertinya serius sekali masalahmu”
“iya benar. Sangat serius malah”
“Tapi kulihat dirimu baik-baik saja”
“E… iya maksudku, tuanku”
“mana tuanmu?”
“Disana. Di atas kita”
“Siapa dia?”
“Kamu cukup sekedar tahu masalahnya saja. Jangan meminta lebih”
“ya, ya aku tahu. Tak semua orang mau berbagi kisahnya. Apalagi menceritakan aibnya”
“Aib maksudmu?”
“Ya benar aib”
“Aib apa? Dia orang baik-baik. Hanya saja…”
“Iya apa? Hanya saja…” lelaki ituy menutup bukunya. Tetapi pagi itu dia sudah stand bye di tempat yang sama.
“Hey kau kembali”
“Dan kau?”
“Aku selalu disini, menunggu orang-orang bercerita dengan tinta”
“Aku sungguh heran!”
“Ya, ada peristiwa apa semalam?”
“Aku bertemu dengan dia”
“Dia siapa?”
“Dia… dia yang selalu ada dipikiranku”
“Di otakmu?”
“Di jantungku”
“Di hatimu?”
“Di jiwaku”
“Di ragamu?”
“Aku tak paham semua ini”
“Kenapa kau bisa lugu seperti ini? Seharusnya…”
“jangan teruskan! Aku malu”
“E…E… aku Cuma mau bilang kau harus bisa mengatasi masalahmu sendiri”
“Oh”
“Sekali lagi aku tanya, siapa dia? Lelaki atau perempuan?”
“Dia wanita”
“Cantik?”
“Ya, sangat. Lebih dari itu”
‘kau kenal?”
“Ya, suka”
“Kau sayang?”
“Ya cinta”
“Lalu kemana dia pergi setelah pertemuan malam itu?”
“Dia lenyap. Ketika fajar tiba”
“Maksudmu? Aku benar-benar dibuat bingung olehmu. Tak pernah sebelumnya orang bercerita kepadaku serumit kau”
“Akupun tak mengerti ketika kupeluk dia untuk kepergiannya, tiba-tiba dia berubah menjadi bantal guling”
“Ha… ha…” dia tertawa terbahak-bahak
“Sudahlah jangan tertawakan aku. Sudah cukup jam beker di meja kamarku mentertawakanku. Dia mengganggu pertemuanku dengannya”
“Ha… ha… ternyata cuma mimpi”
“Eith!... yang ini serius”
“Apa lagi heh?”
“Dia ada. Begini…”
“Hey, apa yang kau lakukan. Jangan banyak mikir, nanti stress loh”
“Ka-kamu? Enggak kok Cuma nulis catatan kecil”
“Oh, aku duluan ya. Ada kelas matematika nih”
“Oh, ya silakan. Duluan aja”
“Tak disangka dia menghampiriku. Dia cantik, anggun dan mempesona”
“Heh, sepertinya dia sesosok yang menarik?”
“Iya, benar”
“Boleh aku mengetahuinya?”
“Tidak!”
“Ciri-cirinya?”
“Apa kurang jelas apa yang kusampaikan tadi? Dia baik, cantik, anggun, ramah dan semua sesuatu yang baik dimilikinya”
“E..E… maksudku namanya”
“Kau tak perlu tahu”
“Inisialnya?”
“XYZ”
“Apa kau menyayanginya?”
“Ssst! Jangan berisik. Nanti orang-orang tahu”
“Jadi benar? Terlihat dari cara kau menuliskan kata-kata pujian untuknya. Ayolah ceritakan saja. Jangan sesaki dadamu!”
“Baiklah aku cerita. Tapi ingat, ini rahasia”
“Yah, hayo!”
“Ini rahasia antara aku, kau dan dia”
“Hah, dia?”
“Iya, dia”
“Mengapa dia harus terlibat ke dalam persoalan dan rahasia perasaan yang rumit ini?”
“Tentulah”
“Apa jangan-jangan dia pemeran utamanya?”
“Iya, betul. Sebenarnya lelaki itu sedang jatuh cinta kepada seorang wanita yang tadi kuceritakan. Tetapi dia tak mampu mengucapkannya”
“Jadi?”
“Dia menyuruh tinta menggoreskan kata-kata dan cerita cinta hingga kusampaikan kepadamu cerita darinya dengan kalimat utama “Dear my sweet princess. Aku jatuh cinta kepadamu wahai dewiku, kau selalu hadir dimimpiku. Tutur lembutmu selalu menghibur telingaku. Sungguh, aku cinta padamu. I Love You”. Lelaki itu kembali menutup buku hariannya. Dia baca kembali goresan-goresan fenomena dan cerita cintanya hingga menghabiskan sisa waktu pekannya bersama mimpi-mimpinya yang tak kunjung kenyataan.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More