Blogroll

Senin, 15 November 2010

Si Cantik Yang Malang

Si Cantik Yang Malang
Setiap hari dan setiap malam hatiku terganggu dengan jeritan seorang wanita di sebuah gubuk tua di samping rumahku.
“Sepertinya dia terkena amnesia”
“Ya benar. Amnesia”
“Atau depresi berat”
“Iya, depresi berat”
“Dia kurang waras”
“Bukan. Dia tak waras”
Kudengar orang-orang disekelilingku menggunjing Retno, gadis cantil berparas ayu, berambut lurus. Yang sukses bergelimangan harta diusianya yang baru kepala tiga. Istilahnya ”Milliader Muda” tapi terkesan aneh ketika dia dengan bangganya membawa mobil dan barang-barang serba baru dan tentunya mahal-mahal harganya.
Digaetnya sebuah tas kecil yang berisi berlembar-lembar kartu ATM yang nilainya jutaan rupiah. “Plakk!” dikibarkan dan digibaskan kipas yang sangat mempesona mata-mata di sekelilingnya. Tak ada di kampungku seorangpun yang memilikinya. Kaca mata hitam tebal diangkatnya dari batang hidung ke atas rambutnya yang hitam layaknya bando. Kemilau emas dan perak di pergelangan tangan dan jari-jemarinya menyilaukan pandangan ibu-ibu ganjen yang doyan menggosip.
Warna lipstick di bibirnya serta baju yang dikenakannya hingga halk tinggi dikakinya serentak berwarna merah. Hingga merahnya membias ke tembok-tembok rumah penduduk. Tak lupa paying merah yang menutupi kulitnya yang putih dan molek. Tubuhnya lembut gemulai dan semampai. Langkahnya berlenggak lenggok bak pragawati. Dan ketika halk tingginya terjebak di genangan air sisa hujan semala, segera disekanya sampai kembali mengkilap menggunakan tissue yang selalu ia bawa di tas kecilnya. Kukunya jadi kotor, dia bersihkan.
“Tapi mengapa dia tidak jua pulang ke rumah?”
“Aku juga tidak tahu mengapa”
“Katanya strippinglah. Pemotretanlah”
Retno meneruskan langkahnya menuju ke sebuah gubuk tua yang telah tiada penghuninya. Pak Aryo dan ketiga anaknya telah meninggalkan rumahnya setelah kematian istrinya karena serangan jantung. Meninggalkan begitu saja. Tidak dijual. Dibiarkan saja. Siapa saja yang mau menyinggahinya. Baginya rumah itu adalah masa lalu buruknya. Retno mulai mengetuk pintu. Tampak sarang rayap berjatuhan dari atap bambu gubuk itu. Semut-semut disekitar pintu seperti tersenyum mengejek akan kedatangan Retno ke gubuk itu. Diketuknya sekali lagi.
“Siapa ya?”
“Saya manager Retno”
“Clakk. Nut. Nut” bu Astuti memutuskan telepon.
Retno membuka pintu pelan-pelan tanpa segan-segan dia masuk. Dilihatnya ruang tengah yang dulu rapi apik terurus sekarang berantakan bahkan tumbuhlah tumbuhan kecil sejenis jamur di sudut-sudut ruangan. Disana kosong. Tidak ada apa-apa. Hanya kursi kayu yang hampir bobrok. Didudukinya kursi itu. Pelan-pelan. Pelan-pelan sekali.
“Aneh” gumamnya, seraya melirik ke semua penjuru ruangan.
“Ehem. Apa yang kau lakukan disini?”
“Aku menanti seseorang”
“Siapa dia?”
“Anak kita”
“Hah, anak? Kapan kita punya anak, selain ketiga anak kita yang telah terlelap tidur di kamarnya?”
“Jangan begitu!”
“Mengapa? Dia juga begitu”
“Tapi…”
Terngiang di telinga Retno pembicaraan kedua orang tua itu yang di ucap ulang oleh adiknya ketika dia meneleponnya dulu untuk menyuruh Retno supaya bergegas pulang ke kampung.
“Aku sekarang sudah pulang. Disini! Tapi mana mereka?” kembali Retno menoleh ke arah jarum jam yang menunjukan jam sebelas lewat lima menit di siang yang terik itu. Diambilnya satu set perlengkapan kecantikannya. Mulai dari lipstik hingga maskara. Dia berkaca meratakan bedaknya. Berdandan pun telah diselesaikannya. Tapi mengapa orang yang ditunggu Retno belum juga tiba? Dia bosan dan keluar.
”Kak Retno? Ibu kak, ibu”
“Ibu kenapa?” tanyanya cemas
“Ibu sudah tidak ada”
“Pergi kemana?” mengalihkan pikiran buruknya.
“I-ibu udah meninggal. Hk…Hk..” adiknya yang baru berusia tujuh tahun menangis tersedu-sedu.
Suasana hati Retno kacau balau. Baru saja dia pulang dari kota dengan tangan hampa. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai gadis sampul majalah XXY. Ayah Retno yang baru selesai membajak sawah milik pak Suryo datang dengan nafas ngos-ngosan, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Pembajak sawah yang dipikulnya dan seekor kerbau yang dituntunnya dilepas begitu saja. Dia berjalan setengah lari. Didekatinya Retno dan di tamparnya.
“Anak kurang ajar! Plakk! Pergi kamu!”
“Tapi rumahku disini Yah. Kita hidup bersama. Satu keluarga”
“Apa kau bilang?” Matanya melotot memandang Retno penuh dengan kebencian.
“Sudah Yah!”
“Pergiiii…!”
Orang-orang masih berbisik-bisik seraya mencela Retno.
“Lihat Bu, anak tak tahu diri itu!”
“Dasar gila!”
“Sinting!”
“Stress!”
“Syaraf!”
Berbagi cacian dilontarknnya. Seolah-olah tidak puas dengan kata-kata cercaannya. Seperti tak ada lagi kata yang lebih baik yang harus diucapkan tetangga-tetangga itu kepada Retno. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Heran bercampur kasihan melihat Retno yang sekarang. Dia mondar-mandir menanti orang yang tak akan dan tak mungkin akan datang. Nampaknya dia malu atau segan bertanya kepada orang-orang yang berlalu-lalang di depan gubuk itu. Jelas dia malu. Sebab dia tak mau orang-orang memandangnya aneh untuk kesekian kalinya. Memang benar, manusia diciptakan tak luput dari kesalahan tapi setidaknya orang tersebut bertaubat dan memohon ampun, bukan malah depresi berat seperti Retno sekarang.
Konon katanya setelah diusir ayahnya dia bekerja di sebuah perusahaan sebagai sekretaris pribadinya si bos yang sekalian menjadi teman tidurnya si bos. Dua tahun setelah kematian ibunya, dia merasa tidak pernah terjadi apa-apa di kehidupannya. Dia merasa normal-normal saja. Hingga suatu hari dia berencana pulang ke kampung halamannya.
Pantas, tetangga-tetangga yang mulutnya ada tujuh tertegun dan mencibir kehadiran Retno ke rumah orang tuanya yang telah lama ditinggalkannya. Dia datang dengan pakain serba merah gelamor, bawa mobil pula.
Dan ketika seorang perempuan bungkuk beruban menghampiri Retno yang sedang mondar-mandir di gubuk tua itu, sejenak dia menghentikan pekerjaannya menyapu halaman rumahnya.
“Cu, apa yang sedang kamu lakukan disini, sendirian?”
“Nek, apa ayah, ibu dan ketiga adikku sedang pergi?” Nada bicaranya datar, biasa saja.
“Cucuku, ayah dan ketiga adikmu memang telah pergi”
“Terus ibu?”
“Astaga, nenek lupa ibumu kemana”
“Nenek gila!” terbesit dipikiran Retno. Tapi Retno berusaha sabar mengorek informasi dari nenek tua yang pikun itu.
“Coba nenek ingat-ingat lagi!”
“Hmm” mengetuk-ketuk keningnya dengan telunjukknya yang telah keriput.
“Ayo nek!”
“Hmm… nenek ingat sekarang”
“Iya Nek apa?”
“Kata cucuku, Astuti sudah meninggal dua tahun yang lalu”
“Apa?” suaranya meninggi.
“Oh, bukan. Bukan kata cucuku tapi…”
Retno serius menanti ucapan nenek.
Tiba-tiba…
“Aku sendiri yang menemukan Astuti tergeletak di halaman rumahnya”
“Benar apa yang dikatakan nenek itu. Ibumu meninggal karena serangan jantung. Dan memuncak ketika dia menunggumu semalaman”. Aku bertindak seperti tetangga-tetangga bermulut tujuh. Yang senang menyalahkan orang lain. Retno tak semudah itu percaya kepada kami dan menganggap kami semua tidak waras. Padahal sudah jelas. Retnolah yang gila.
Tapi walaupun demikian wajahnya berubah setelah mendengar penjelasan sejelas-jelasnya dariku. Matanya susah untuk dibaca. Pandangannya kosong menerawang kea lam lain. Perlahan-lahan air matanya turun dari sudut matanya. Tetapi mulutnya malah tertawa lepas. Rambutnya dijambaknya dengan tangan kiri dan kanannya sembari melangkah perlahan menuju ke dalam gubuk yang telah lapuk yang sedikitnya dihuni oleh kelabang, tikus-tikus dan rayap-rayap yang setiap hari menggerogoti bilik bambu gubuk itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More